ingin dapat duit dolar secara online mudah dan gratis,,, daftar di probux. inilah kesempatan anda untuk mengumpulkan uang agar setiap kali anda online pemasukan mengalir,,, tak perlu susah-susah untuk mendaftar cukup klik banner ini atau gambar di atas...
Peranan Ismail Marzuki Pada Masa
Kolonial Belanda Tahun 1930-1942 dan Pemerintah
Jepang di Indonesia Tahun 1942-1945
Ismail Marzuki lahir dan dibesarkan di Batavia, jantung kekuasaan Kolonial Belanda di
Indonesia waktu itu. Semangat zaman memang sangat mempengaruhi dan membentuk kepribadian
Ismail Marzuki dalam menekuni dan menjatuhkan pilihan sebagai musikus,
profesi yang saat itu masih di pandang sebelah mata. Menurut sejumlah sumber, untuk kali pertama Ismail Marzuki mencipta lagu berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan syair bahasa Belanda itu dibuat saat dia berusia tujuh belas tahun (1931), nyaris bersamaan waktunya dengan pembebasan Sukarno salah seorang pemimpin PNI pada bulan Desember 1931.
Pada tahun 1947, presiden pertama Republik
Indonesia ini mengarang buku yang berjudul Sarinah. Menurut Sukarno, “saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya.
Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih,
tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Mengajarku mencintai rakyat. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah kekuasaan terbesar dalam hidupku”. Hubungan antara judul lagu ciptaan
Ismail Marzuki dan judul buku karangan Sukarno mungkin tidak berkaitan,
namun jelas keduanya lebih dari sekedar nama seorang perempuan. Sarinah adalah perlambang bangsa yang tertindas atau, menurut tafsir Firdaus Burhan,
“istilah nasional
yang melambangkan seantero rakyat Indonesia yang tertindas ”. Uniknya, radio NIROM justru yang kali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh Sarinah.[36]
Pada periode 1935-1937 Ismail marzuki mencipta beberapa lagu, di antaranya kroncong Serenata(1935), Oh Jauh di Mata, Roselani (1936; bernuansa Hawaiian), Setambul Sejati(1937), dan Kasim Baba (1937). Pengaruh kelompok-kelompok sandiwara yang tumbuh subur sejak pertengahan tahun
1930-an tampak jelas dalam lagu ciptaan
Ismail Marzuki. Lagu-lagu tradisional dan barat pun ditekuninya sejak 1936 sampai 1937. Lagu-lagu barat yang
tenar waktu itu adalah Bei Mir
bist du Schoen, Adios Muchachos, Beer Barrel of Polka, White Chapel in the
Moonlight, dan Amapola.
Ketika duduk dibangku sekolah dasar
(HIS), Marzuki Saeran mendorong Ismail Marzuki untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), kwartir Surya Wirawan,
Gang Kenari. Ismail Marzuki mulai berkenalan dengan dunia gerakan. Pada waktu hampir bersamaan, beberapa tokoh masyarakat Betawi, termasuk Muhammad Husni Thamrin, mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi. Organisasi ini lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan kaum Betawi,
khususnya di bidang budaya,
bahasa, musik, pengajaran, perdagangan, kerajinan, perawatan, kesehatan, dan sebagainya.
Ismail Marzuki pun ikut bergerak di dalam organisasi itu,
kendati hanya diberi tugas sebagai kurir dengan wilayah operasi mulai dari daerah sekitar Kwitang sampai Laan Tegalan (sekarang kawasan Matraman)
dan Solitude. Perlahan-lahan nama Ismail Marzuki mulai dikenal luas, khususnya dilingkuangan Sport Organisasi Pemuda Betawi
(salah satu Onderbouw Perhimpunan Kaum Betawi). Ismail Marzuki kemudian dipilih sebagai ketua
Modern Gambus dan
Harmonium Orkes Kombinasi pada 1939.Selain Ismail Marzuki, pengusur lain “cabang musik” yang bergabung dengan Sport Organisasi Pemuda Betawi pada pertengahan
1938 ialah Halid Thabrani (penulis), Miming (Bendahara), Mohammad Siradj, Muslim Abdul
Gani, M. Bakrie (pembantu), M. Nazirdan HM Jasin Aldjawi (Technisch-leider).
Saat-saat akhir Kolonialisme Belanda di Indonesia, Ismail Marzuki mencipta sejumlah lagu yang sebagian besar berkisar keresahan jiwa muda, berkisah tentang kehidupan manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat pada judul dan syair lagu-lagu Malam Kemilau, Siapakah Namanya, Sederhana, Keroncong, Sukapuri, Ani-ani Potong Padi Rumba, lagu-lagu tersebut diciptakan pada tahun
1940-an. Ismail
Marzuki yang bekerja di radio NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian pindah ke PPRK
pada bulan
November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini sampai dengan kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan di atas kian mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selaku pemusik pejuang. Posisinya jelas: berperan aktif dalam setiap keadaan.
Bersama beberapa kawan, Ismail Marzuki konsisten memegang nilai-nilai “merdeka” yang diperjuangkan selama itu. PPRK dan VORO adalah hasil dari kesinambungan sikap perjuangan semacam itu.Mereka memposisikan diri secara tepat dan mengambil setiap kesempatan, baik sebagai pengubah(lagu kepahlawanan dan Cinta Tanah Air) maupun penyiar (melalui PPRK dan VORO) pesan-pesan keindonesiaan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita memandang
Ismail Marzuki sebagai salah satu orang
Indonesia yang turut aktif berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar biasa dibidang musik, maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari jati dirinya selaku manusia
Indonesia tentunya di perjuangkan lewat musik. Seaindainya
Ismail marzuki mengungkapkan atau memberikan
program-program politik penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang akan di sandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentuakan menjadi
lain.
Bulan
Februari 1942 Jepang mengirim armada-armada kapal lengkap dengan berbagai
rencana untuk membentuk pemerintahan militer di wilayah pendudukan. Dua dokumen
yang melandasi kegiatan itu adalah “Asas-asas Mengenai Pemerintahan di Wilayah-wilayah
Selatan yang Diduduki” dan “Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan
Angkatan Laut mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-wilayah Pendudukan.”
Kedua dokumen diambil dalam “Konferensi Penghubung” yang diadakan di Tokyo
bulan November 1941. Markas Besar Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang
menyusun dan memakai dokumen-dokumen khusus untuk setiap pemerintahan militer
di daerah pendudukan. Pada intinya, dokumen tersebut menekankan soal pemulihan
ketertiban dan keamanan, pencarian sumber kebutuhan vital, serta pemenuhan
kebutuhan pasukan tempur secara berdikari (swasembada). Pembentukan pemerintah
di setiap daerah pendudukan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah
pemindahan seluruh kekuasaan administrasi Belanda ke tangan tentara Jepang.
Tahap berikutnya diberlakukan pemerintahan militer sangat ketat. Semua jabatan
dipegang oleh perwira militer.
Tahap terakhir
adalah pergeseran dan peralihan ke pemerintahan “semi-militer.” Hampir semua
jabatan diserahkan kepada Gunzoku(orang-orang sipil yang bekerja pada
dinas militer) yang dikirim bergelombang ke nusantara sejak bulan Mei sampai
Agustus 1942. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang, teknisi, perawat, juru
tulis, ahli pertanian, ahli kehutanan, ahli pertambangan, ahli kesehatan,
perkapalan, minyak, geisha, dan lain-lain. Sekitar 4.000 orang Jepang
pernah tinggal di Indonesia.
Kedatangan
Jepang disertai pula dengan keinginan untuk menghapus semua pengaruh Belanda
(politik, ekonomi, dan budaya) sekaligus membangun hegemoni baru dalam
kehidupan rakyat. Patung Jan Pieterszoon Coen, salah satu simbol kekuasaan Belanda
di Indonesia, dibongkar. Semua nama jalan yang memakai bahasa belanda di ganti.
Gubernur Jendral beserta istri, para pegawai pemerintah kolonial, direktur
perusahaan serta pimpinan beberapa lembaga dijebloskan ke kamp-kamp tawanan
perang.
Dua
minggu setelah berhasil menguasai Indonesia secara resmi, pemerintah pendudukan
Jepang melarang semua bentuk aktivitas politik. Simbol-simbol keindonesiaan
seperti bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya dilarang dikibarkan
dan dinyanyikan. Partai-partai politik dibubarkan, pertemuan atau rapat-rapat
organisasi bisa diadakan asalkan telah mengantongi surat izin. Surat-surat
kabar dan majalah berbahasa Belanda, Cina dan Indonesia dilarang terbit.
surat-surat kabar Sipatahunan dan Nicork Expres di bandung
dihentikan penerbitannya dan diganti surat kabar Tjahaja. Surat kabar
Mataram di Jogjakartra berganti nama menjadi Sinar Matahari. Kecuali Sinar
Baroe, seluruh surat kabar di Semarang dilarang terbit. Semua surat kabar
milik orang Indonesia, Cina, Belanda di Surabaya dilarang beredar. Sebagai
gantinya, pemerintah Jepang menerbitkan surat kabar Soeara Asia.
Sebagaimana
diketahui, radio tidak kalah penting sebagai alat komunikasi massa. Setelah
menutup dan menghentikan semua aktivitas siaran radio, pemerintah Jepang
mendirikan Djawa Hoso Kanrikyoku pada tanggal 1 Oktober 1942. Badan yang
mengurus dan menyelenggarakan siaran radio di pusat maupun di daerah-daerah itu
mengambil-alih semua peran yang pernah dimainkan NIROM, VORO, PPRK dan
sebagainya.[37]
B.
Keadaan Politik Yang Mendorong Inspirasi
Ismail Marzuki adalah salah seorang musikus dan pengubah lagu yang sedikit
banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Proses kreatif Ismail Marzuki boleh dikatakan berhubungan
erat dengan perkembangan sosial politik di Indonesia pada masa akhir kolonialisme
Belanda dan sepanjang masa pendudukan Jepang. Perkembangan di Indonesia sejak
tahun 1930-an ditendai oleh berbagai gelombang pasang-surut yang amat
menentukan hubungan sosial-politik yang terjalin diantara pemerintah kolonial
Belanda dan rakyat jajahan, khususnya “kaum pergerakan.” Sebagaimana diketahui,
beberapa pemimpin Perserikatan Partai Nasional Indonesia (PNI) kembali
melanjutkan garis perjuangan lama setelah dibebaskan dari penjara.
Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda memakai berbagai cara untuk
meredam aktivitas politik sekaligus menghambat gagasan-gagasan kaum
pergerakan,, baik kooperatif maupun non kooperatif. Selain menangkap, menahan,
memenjarakan, atau membuang sebagian dari mereka keluar Jawa, pemerintah juga
mengeluarkan berbagai peraturan. Surat kabar atau media yang dianggap melanggar
undang-undang pers kolonial dapat segera dibredel. Redakturnya ditangkap,
ditahan, atau dimasukan kedalam penjarah. Para guru sekolah dilarang menjadi
anggota atau menghadiri rapat organisasi pergerakan. Pemerintah kolonial
berjanji akan ikut campur tangan aparat keamanan (PID = Politieke Inlichtingen Dienst) apabila kaum pergerakan mau bersikap
lebih kooperatif. Untuk mencegah partai-partai politik bebas berkeliaran
menarik simpati masyarakat luas, pemerintah kolonial memberlakukan vergader verbod (larangan berkumpul dan
menyelenggarakan rapat). Rakyat dilarang keras mendendangkan lagi-lagu mars
milik beberapa organisasi sosial-politik. Indonesia
Raya yang senantiasa dinyanyikan dalam acara pembukaan dan penutupan
rapat-rapat partai politik, serta lagu-lagu mars Partai Indonesia Raya, Persatuan Bangsa Indonesia, dan Gedung Nasional Indonesia (ciptaan
Wongso Atmodjo), boleh diperdengarkan secara instrumental, tetapi tidak boleh
dinyanyikan. Semua itu atas nama menjaga rust
en orde (kemanan dan ketertiban) yang intinya adalah agar roda mesin
kekuasaan dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan lebih lancar.
Penguasa silih berganti mengatur Indonesia. Sebagian berpaham liberal
(lunak), sebagian lagi konserfatif (keras). Keras ataupun lunak, penjajah tetap
penjajah. Dalam kondisi represif sekalipun toko partai harus tetap menjalin
hubungan dengan rakyat. Rakyatpun akan menaruh simpati jika partai politik
memuat program-program yang merakyat. Itulah yang membentuk persepsi rakyat
tentang citra perhimpunan politik yang sesungguhnya, itu pula yang megubah
pandangan kaum pergerakan tentang arti penjarah, suatu persepsi yang sedikit
banyak dipengaruhi oleh beberapa kejadian penangkapan dan pembuangan ke Boven Digul
menyusul kegagalan pemberontakan kaum komunis 1926-1927.
Situasi plotik di Indonesia berkembang tidak menentu sejak 1934. Represi,
baik terhadap pengurus maupun partai politik, membuat kaum pergerakan dikubu
non koopratif seolah-olah berjalan ditempat. Aktifitas kaum pergerakan didalam
partai Sarekat Islam, misalnya. Organsiasi masa yang berganti nama menjadi
partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) itu mengalami kemunduran cukup berarti
sejak pertengahan tahun 1920-an. Sebagian kaum pergerakan memang mulai
menggunakan pranata Volksraad sebagai
wahana menuju Indonesia merdeka. Pembentukan Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg
Stirum pada 19 Mei 1918. Ketika dibentuk tali pertama, Volksraad beranggotakan 39 orang (termasuk ketua) : 15 bumiputera
dan 23 mewakili golongan Eropa dan Timur Asing. Pada 1927 dan 1930, anggotanya
ditambah menjadi 55 orang dan 60 orang. Namun, mereka yang mewakili kepentingan
pribumi mayoritas rakyat di Indonesia hanya 25 orang dan 30 orang. Sebagian
kaum pergerakan, baik didalam maupun diluar Volksraad,
menganggap lembaga ini tidak lebih sebagai meminjam istilah Agus Salim –“komedi
omong.” Parlemen tiruan (schijn parlement)
itu dinilai mereka tidak bisa menjalankan fungsi sebagai mana mestinya.
Pemerintah kolonial belanda memang selalu mengabaikan keputusan-keputusan
lembaga tersebut. Pendek kata, Volksraad merupakan
basa basi politik perpanjangan tangan pemerintah kolonial, dan pengelabuan
terhadap semua aspek kehidupan rakyat Indonesia.
Menurut sejumlah sumber, untuk kali pertama Ismail Marzuki mencipta lagu
berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan
syair Bahasa Belanda itu dibuat saat dia berusia 17 tahun (1931). Sarinah adalah perlambang bangsa yang
tertindas atau, menurut tafsir Firdaus Burhan, “Istilah Nasional yang
melambangkan santero rakyat Indonesia yang tertindas.” Uniknya, radio NIROM
justru yang tali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh Sarinah. Namun
demikian, ada semacam ruang kosong diantara periode 1931 sampai 1935 dalam
proses kreatif Ismail Marzuki di bidang cipta mencipta lagu. Dua tahun sesudah
mencipta Oh Sarinah, dia mengubah lagu Periangan
ciptaan A Rivai. Perkembangan sosial politik yang berlangsung di Indonesia
pada periode tersebut ikut mempengaruhi
proses kreatif Ismail Marzuki. Pada periode 1935-1937 Ismail Marzuki mulai
mencipta beberapa lagu, diantaranya Kroncong
Serenata (1935), Oh Jauh Dimata, Roselani (1936), Stambul Sejati (1937) dan
Kasim Baga (1937). Stambul Sejati bermodus minor dengan
melodi melayu Sumatra Utara yang kental dengan keroncong stambul, sementara
Kasim Baba mengambil latar cerita “Hikayat 1001 Malam.”[38]
Saat-saat akhir kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda, Ismail Marzuki
mencipta sejumlah lagu yang sebagian besar berkisar keresahan jiwa muda,
berkisah tentang kehidupan manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat
pada judul dan syair lagu-lagu Malam
Kemilau (1940; instrumental), Siapakah
Namanja (1940), Sederhana (1940),
Krontjong Sukapuri (1940), Bintangku (19 40), dan Arjuna Rumba (1940). Ismail Marzuki yang
bekerja di Radio NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian pindah ke PPRK pada
bulan November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini sampai dengan
kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan diatas kian mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selain pemusik
Pejuang. Posisinya jelas: berperan aktif dalam setiap keadaan. Bersama beberapa
kawan, Ismail Marzuki konsisten memegang nilai-nilai “merdeka” yang
diperjuangkan selama itu. PPRK dan VORO adalah hasil dari kesinambungan sikap
perjuangan semacam itu. Mereka memposisikan diri secara tepat dan mengambil
setiap kesempatan, baik sebagai pengubah (lagu kepahlawanan dan cinta Tanah
Air) maupun penyair (melalui VORO dan
PPRK) pesan-pesan keindonesiaan. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita
memandang Ismail Marzuki sebagai salah satu orang Indonesia yang turut aktif
berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar
biasa dibidang musik, maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari
jati dirinya selaku manusia Indonesia tentunya diperjuangkan lewat musik.
Seandainya Ismail Marzuki mengungkapkan atau membeberkan program-program politik
penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang akan disandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentu akan menjadi lain.